Teknik-Teknik Person-Centered
Therapy
Terapi ini tidak memiliki metode
atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis
dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun
hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk
mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau
didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun
terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam
terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif,
merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi
klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah,
dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person
centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis.
Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
·
Menerima. Terapis menerima pasien dengan
respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif.
Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi
kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman
dirinya dan perubahan yang positif.
·
Keselarasan (congruence). Terapis
dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang
dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
·
Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam
cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
·
Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis
mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien
sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
·
Hubungan yang membawa akibat. Suatu
hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang
aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.
Tahap-Tahap Person-Centered
Therapy
Jika dilihat dari apa yang dilakukan
terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu;Pertama, tahap membangun
hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang
substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa
syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas
hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi
pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses
terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu;
1. klien datang
ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi
penyesuaian diri yang tidak baik.
2. saat klien
menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas
permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas
kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan
mengetasi kesulitan hidupnya.
3. pada awal
terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia
menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum
menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung
mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
4. klien mulai
menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan
belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan
menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.
Tujuan Person-Centered
Therapy
Pada terapi ini Rogers tidak
mengkhususkan tujuan untuk satu pemecahan masalah. Tapi untuk membantu klien
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mereka, sehingga klien dapat lebih
baik dalam memahami, menerima serta mengatasi masalah mereka saat ini dan masa
depan. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam terapi ini, sebab terapis
digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada klien untuk menentukan
tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri. Bagi Rogers pada
dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai
usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning
person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan
dirinya. Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep
inti tujuan terapi, yaitu;
a. Keterbukaan
pada pengalaman
Klien diharapkan dapat lebih terbuka
dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa
klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan
pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.
b. Kepercayaan
pada organisme sendiri
Dalam hal ini tujuan
terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri
sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap
diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas
mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak
mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri.
Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya
sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
c. Tempat evaluasi
internal
Tujuan ini berkaitan dengan
kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari
jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien
juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat
ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi
hidupnya.
d. Kesediaan untuk
menjadi satu proses.
Dalam hal ini terapi bertujuan untuk
membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang
berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian
persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi
pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Efektivitas Person-Centered
Therapy
Terapi person center bisa efektif
apabila terjalin hubungan yang baik antara terapis dan klien. Hubungan yang
baik ini mengandung tiga unsur penting yaitu penerimaan yang hangat,
keselarasan dan kesejatian, serta empati yang akurat. Untuk memperoleh hasil
yang maksimal dari terapi ini, maka perubahan kepribadian mengikuti model
“jika-maka” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: syarat-syarat, proses, dan
hasil. Jika syarat-syarat itu dipenuhi, maka proses akan terjadi. Jika proses
terjadi, maka hasil-hasilnya pun akan muncul. Supaya terapi dapat berhasil,
maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi, yaitu:
·
Dua orang berada dalam hubungan psikologis
·
Yang pertama, mereka yang disebut klien, berada dalam
status tidak menentu, rapuh, dan cemas
·
Orang kedua yang disebut terapis, berada dalam keadaan
selaras atau terintegrassi dalam berhubungan
·
Terapis mengalami unconditional positive
regard atau merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap pasien
·
Terapis memperlihatkan pemahaman yang akurat dan
empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) klien dan
berusaha mengkomunikasikan pemahamannya itu kepada pasien
·
Terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis
dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan
yang paling minim.
Terapi ini dikatakan berhasil atau
efektif untuk klien jika klien dapat menentukan dan menjernihkan
tujuan-tujuannya sendiri sampai tujuannya itu tercapai sehingga dapat menjadi
manusia yang berfungsi penuh. Ada beberapa kelebihan dari terapi ini, yaitu;
·
Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
·
Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama
dalam mengubah kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada
sikap terapi
·
Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan
optimis
·
Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika
mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat
mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak
dijustifikasi, selain itu klien diberikan peluang yang lebih luas untuk
mendengar dan didengar
·
Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi
pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
·
Dapat diterapkan pada setting individual maupun
kelompok
Sedangkan kekurangan dari terapi
adalah sebagai berikut;
·
Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana
dan dalam tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai
individu
·
Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang
berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk
membantu klien memecahkan masalahnya
·
Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi
hubungan interpersonal
·
Terapi menjadi tidak efektif ketika konselor
terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup,
orang bisa memiliki kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik
mendengar dan merefleksi.
·
Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang
parah
·
Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu
terpusat pada klien sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan
rasa sebagai pribadi yang unik.
·
Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan
sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah
praktisi terkadalang menyalahtafsirkan atau menyederhanakan
sikap-sikap sentral dari posisi person-centered.
·
Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial
Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
·
Corey, Gerald. 2009. Teori dan
Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika
Aditama.
·
Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan
Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
·
Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan
Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
22;33
16 april
0 komentar:
Posting Komentar