Amalia Septiana 10512687 1pa05
Sejarah Adipati Kuningan
Menyusuri sejarah Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh
“Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan
pada masa penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan bahwa nama Sang Adipati
Kuningan yang sebenarnya adalah Suranggajaya. Ia adalah putra Ki Gedeng
Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) bernama Jayaraksa. Jayaraksa
juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama Bratawiyana
atau Bratawijaya yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya
Kamuning.
Saat Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam,di Luragung,
beliau disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien asal
Campa
yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Saat itu sang istri sedang mengandung
tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak.
Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati
hati beliau yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada
Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk
diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.
Dalam cerita rakyat Kuningan
versi lainnya yang mengandung mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai
Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam
Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota
Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu
sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng
Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding.
Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam sejarah Kuningan.
Setelah ke Luragung perjalanan
Sunan Gunung Jati diteruskan ke Winduherang yang dulu diduga sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Kuningan/Kajene untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu
Bratawiyana yang telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk
pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu
Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang tadinya penganut Hindu menjadi
penganut Islam setelah menikah dengan Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh
Maulana Akbar). Syekh Maulana Akbar adalah seorang ulama yang diduga asal Persia
yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana. Kedatangannya
ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati
penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam.
Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu
daripada Sunan Gunung Jati. Dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai
perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih
menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan
Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.
Ketika Sunan Gunung Jati
sampai di Winduherang, beliau menitipkan putra angkatnya Suranggajaya untuk
diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan
bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah
Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan
itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan
hubungan psikologis (batin) antara ayah asuh dengan putra asuhnya.
Dalam sumber berita Cirebon
(CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S. Sulendraningrat bahkan
disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati,
sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama
dibesarkan seusia dengan Suranggajaya yaitu Ewangga. Tetapi di sumber lain
menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya
dari Parahyangan Cianjur yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam
kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi
ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola
pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati
Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara
Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan mataram
ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta.
Setelah dewasa, menginjak usia
17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa
di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin
Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon
bertepatan dengan tanggal 1 September 78, yang diperingati
sebagai hari lahirnya kota Kuningan.
Namun bila dilihat secara
politis, sebenarnya sejak saat itu sebenarnya Kerajaan Kuningan telah jatuh, tidak
lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi
daerah bawahan Kerajaan Cirebon.
Berarti kalau kita lihat
eksistensi perjalanan Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal
kelahirannya, bernama Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) - Kerajaan
Saunggalah (raja: Demunawan/Rahangtang Kuku/Seuweukarma) merupakan kerajaan
berdaulat penuh. Kemudian dibawahkan oleh Kerajaan Galuh (raja: Rhy Banga),
lalu muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa,
yaitu Prabu Ragasuci/Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah penguasaan Sunda
Padjajaran oleh Prabu Siliwangi. Lalu muncul Kerajaan Kuningan dengan sebutan
Kajene zaman Prabu Langlangbuana/Langlangbumi dan diturunkan kepada Ratu
Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh Kerajaan Sunda Pajajaran), dan
akhirnya ketika diperintah Sang Adipati Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh
di bawah pengaruh Kerajaan Cirebon.
0 komentar:
Posting Komentar